Harta Gono-Gini Pasca Perceraian dan Dasar Hukumnya di Indonesia.
Pendahuluan.
Perceraian merupakan peristiwa hukum yang tidak hanya mengakhiri ikatan perkawinan, tetapi juga menimbulkan akibat hukum terhadap harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan. Salah satu isu yang paling sering diperdebatkan adalah pembagian harta gono-gini. Pemahaman yang tepat mengenai konsep, prinsip pembagian, serta dasar hukum harta gono-gini sangat penting agar para pihak memperoleh keadilan dan kepastian hukum pasca perceraian.
A. Pengertian Harta Gono-Gini.
Harta gono-gini adalah harta bersama yang diperoleh oleh suami dan istri selama masa perkawinan, baik atas nama suami, istri, maupun keduanya. Harta ini pada prinsipnya merupakan hasil kerja sama dan kontribusi kedua belah pihak selama perkawinan berlangsung.
Harta gono-gini berbeda dengan harta bawaan, yaitu Harta yang dimiliki sebelum perkawinan, Harta yang diperoleh selama perkawinan sebagai hadiah atau warisan, Harta bawaan tetap berada di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang tidak diperjanjikan lain.
B. Prinsip Pembagian Harta Gono-Gini Pasca Perceraian.
Pada dasarnya, pembagian harta gono-gini dilakukan secara adil, yang dalam praktik hukum di Indonesia umumnya di maknai sebagai pembagian masing-masing ½ (separuh) antara mantan suami dan mantan istri. Namun, pembagian ini dapat berbeda apabila ada perjanjian perkawinan (prenuptial atau postnuptial agreement), Ada kesepakatan lain antara para pihak, adanya putusan pengadilan menentukan pembagian yang berbeda berdasarkan pertimbangan tertentu.
C. Dasar Hukum Harta Gono-Gini
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Pasal 35 ayat (2) berbunyi : "Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain".
Pasal 37 berbunyi : “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama di atur menurut hukumnya masing-masing.”
Yang dimaksud “menurut hukumnya masing-masing” dapat merujuk pada hukum agama, hukum adat, atau hukum lainnya yang berlaku bagi para pihak.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Bagi pasangan Muslim, pembagian harta gono-gini merujuk pada KHI, khususnya Pasal 85 KHI menegaskan adanya harta bersama dalam perkawinan tanpa menghilangkan hak kepemilikan masing-masing atas harta bawaan.
Pasal 97 KHI yang berbunyi : “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas separuh dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Pasal ini menjadi dasar utama pembagian harta gono-gini secara seimbang (50:50) bagi pasangan Muslim.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Bagi pasangan yang tunduk pada KUHPerdata, prinsip persatuan harta (gemeenschap van goederen) berlaku sejak perkawinan di langsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 119 KUHPerdata).
D. Penyelesaian Sengketa Harta Gono-Gini
Pembagian harta gono-gini dapat dilakukan melalui:
1. Musyawarah atau kesepakatan bersama
2. Mediasi di pengadilan
3. Gugatan harta bersama ke Pengadilan Agama (bagi Muslim) atau Pengadilan Negeri (bagi non-Muslim).
Gugatan harta gono-gini dapat diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian atau setelah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap.
E. Penutup.
Harta gono-gini pasca perceraian merupakan aspek penting yang harus diselesaikan secara adil dan berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan memahami dasar hukum serta prinsip pembagiannya, para pihak diharapkan dapat menyelesaikan sengketa harta bersama secara bijaksana, baik melalui kesepakatan maupun melalui jalur pengadilan, demi tercapainya kepastian dan keadilan hukum.
Demikian penjelasan singkat mengenai harta gono-gini pasca perceraian, jika ada pernyataan mengenai seputar dunia hukum, silahkan hubungi nomor yang sudah tercantum di website ini. Sekian dan terima kasih.
Salam.

