Pengacara Jepara Qomarudin, SH.

Pembahasan Singkat Restorative Justice

Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah Restorative Justice melalui media cetak maupun elektronik. Menurut pakar hukum Pidana Mardjono Reksodiputro. Ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), Restorative Justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Ia mengatakan, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan. Karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.

Artikel Pembahasan Singkat Restorative Justice

Restorative Justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. 

a. Restorative Justice di lingkungan Polri

Mengenai Restorative Justice ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menekankan dalam penanganan perkara Undang-undang Informasi dan Elektronika (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016. Ia juga menerbitkan menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Berkaitan dengan surat edaran, Kapolri juga menerbitkan surat telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak kejahatan cyber yang menggunakan UU ITE. Surat telegram itu terbit pada 22 Februari 2021. Lewat telegram, Kapolri menyatakan tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara Restorative Justice yaitu kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Ia pun meminta penyidik Polri tidak melakukan penahanan. Kapolri Minta kedepankan Restorative Justice. Sementara itu, tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.

b. Restorative Justice di lingkungan Peradilan Umum

Prinsip dasar Restorative Justice yaitu adanya pemulihan korban yang menderita akibat sebuah kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan lainnya. Maksud dan tujuan penerapan Restorative Justice di lingkungan Peradilan Umum adalah untuk mereformasi criminal justice system yang masih mengedepankan hukuman penjara. Dalam sistem pemidanaan tidak lagi pada perilaku.

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

c. Restorative Justice di Lingkungan Kejaksaan

Kebijakan Restorative Justice Melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020 yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2021 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) selesai tanpa ke meja hijau. Sejak dikeluarkannya Perja itu, sudah 300 perkara telah dihentikan Jaksa diseluruh tanah air, Dikeluarkannya Perja ini untuk merestorasi kondisi ke semula sebelum terjadi “kerusakan” yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang (tersangka). 

Syarat –syarat bagi orang yang “berhak” menerima Restorative Justice adalah :

  1. Tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan
  2. Kerugian di bawah Rp 2,5 juta
  3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban

Perja ini juga mencoba untuk meminimalisir over capacity Lapas yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Selain itu, muatan Perja ini juga terkandung untuk meminimalisir penyimpangan kekuasaan penuntutan serta memulihkan kondisi sosial secara langsung di masyarakat. Ini juga menjadi salah satu kebijakan dalam menjawab keresahan publik tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas yang selama ini seolah menjadi kelaziman.

Peraturan ini adalah salah satu inovasi dari Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan kepastian hukum bagi kalangan masyarakat biasa. Policy ini digaungkan ST Burhanuddin di level internasional. Dalam acara bertema “Integrated Approaches to Challenges Facing the Criminal Justice System”. Burhanuddin menyampaikan metode restorative justice dalam peradilan pidana Indonesia merupakan pendekatan terintegrasi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga penjatuhan putusan pengadilan. Burhanuddin menyebut restorative justice dapat mempersingkat proses peradilan yang berkepanjangan serta menyelesaikan isu kelebihan kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan . Melihat capaian tersebut, pilar reformasi di tubuh Kejaksaan Agung kembali berdiri. Namun demikian, dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengawal kembalinya marwah kejaksaan. Bahwa dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum  kita tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri, padahal perlu diingat bahwa Equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum).



Semoga bermanfaat. Salam.

* Di kutip dari berbagai sumber.